Bismillah...
Lembut angin berbisik lirih dalam tiap sentuhan mengantar sepi aroma senja, bermandikan rona keemasan. Membatu aku pada sebuah pesona.
“Kau benar-benar membawa pesona .” hati ini coba merayu, dalam tiap senyum kecut sebuah kekalahan.
Menatap hamparan luas lautan, ingin rasanya ikut bergelayut bersama mereka, burung –burung menari diatasnya menyanyikan lagu rindu pada sesama, sedang aku? Kemana ku alamatkan rasa ini.
“Tak bisakah kau ambil liburan barang seminggu, Nduk?”
“Lah, ada apa toh Bu. Sajake kok maksa banget.”
Isi SMS semalam buatku bercabang. Ada apa?
16 july, 30 tahun lalu bapak dan ibu menikah. Ah, seperti tahun-tahun kemarin biasanya aku ada bersama mereka, bersama saudara lainnya adakan syukuran kecil. Tapi, kali ini tak satupun dari anak-anak ibu ada bersamanya. “Maafkan, Bu. “
“Mba, Ibu nelpon nyuruh pulang ga?”
“enggak, tadi aku telpon juga ga bilang apa-apa. Memang ada apa?”
“Ga pa pa nanya aja.”
Saudara perempuanku dibelahan sana tak di pinta pulang, kenapa harus aku? Ah, masih ku nikmati senja disini. Habiskan sentuhannya yang hanya beberapa menit .
Tak pedulikan sekelilingku, tak juga pedulikan lagi ada apa dengan diriku. Aku hanya ingin menatap dan bercumbu dengan senja ini. Itu saja. Ah, senja...
Diantara kekosongannya, aku menghadirkan sosok dia sekali lagi. Dia yang selama ini hidup dalam duniaku.
Seandainya dia ada di sini betapa indahnya senja kali ini.
Tapi, dimanakah dia?
Sungguh aku merasa getaran itu ada, rasa itu hidup dalam tiap detak jantung dan napas ini. Mengalir indah bersama urat nadi dalam tiap alirannya. Inikah jatuh cinta?
“Gila!!! Mana ada jatuh cinta macam kamu ini? Enggak normal namanya.” Dina teman kantorku kaget mendengar pengakuanku tentang sosok dia.
“Tapi sungguh Din, aku belum pernah merasakan ini sebelumnya.”
Dina hanya menggelengkan kepala aneh mendengar ceritaku, apakah ini aneh? Kenapa? Bukankah cinta tak bisa diukur dari berapa lama waktu engkau mengenalnya?
“Kau belum mengenal betul siapa dia, bagaimana kau mencintainya?”
“Bagaimana aku tidak mencintainya, dialah sosok yang bisa membuatku tertawa, membuatku tahu betapa aku sangat menjadi berarti dalam kehidupan kali ini.” Membantah, aku mecoba melakukan perlawanan dari pertentangan yang perasaanku katakan pada mereka.
Biarlah mereka menertawakan sikapku, asal aku menikmatinya karena dengan demikian aku merasa aku menjadi ada. Itu sudah merupakan cukup bagiku untuk kehidupan yang pernah koma ini.
Biarkan mereka mengatakan bahwa aku terkena candu dalam dunia hayalku, tapi rasa ini benar-benar ada. Dan aku merasakannya. Kalian tak kan pernah tahu itu.
<><><>
Senja perlahan melambaikan tangan menyuruhku kembali lanjutkan perjalanan yang semakin gamang.
Inikah kehidupan atau hanya rekayasa dari sebuah hidup.Seandainya aku bisa menulis kehidupan seenak hatiku, aku tak ingin menulis yang seperti ini, alur ini terlalu indah untuk dijadikan badut bahan perbincangan telinga lalu.
Menikah, mencintai... haruskah dengan persetujuan dari masyarakat, lalu bagaimana dengan aku?
“Nduk, kamu sudah punya pilihan hati belum?”
“maksud ibu?”
“Kamu masih merindukan ketua OSIS itu?”
Ah, ibu memang paling mengerti aku. Seperti ketika aku menanyakan untuk menikah ketika berusia 15 tahun, lucu mengingatnya. Ingin tertawa sejenak. Tapi, kali ini bukan karena ketua OSIS cerita masa kanak-kanak itu.
Di depan sana deburan ombak perlahan mengantar kepergian senja tapi aku tak juga bergerak dari tempatku berdiri. Ada satu perasaan tak ingin berbalik hanya demi mengikuti arus yang makin samar tujuannya.
“Dia itu anak baik-baik, sudah mapan, ibu juga kenal sama orangtuanya, keluarganya baik sama ibu. Kamu tinggal bilang iya atau tidak saja.”
“Ohm... Tapi, aku tak pernah mengenalnya. Bicara saja belum pernah bagaimana aku mengiyakan, Bu?”
“percayalah sama ibu dan bapak.” Suara ibu masih terngiang jelas di otakku.
Percayalah...
Percaya...
“De', percayalah aku pasti akan temui orangtuamu secepatnya.” Aku teringat kembali kalimat ketika seseorang memberi sebuah keyakinan padaku.
Kenapa kalimat itu harus sering menyentuh telingaku. Aku mencintai orang selalu bersamaku dalam tiap tangis dan tawaku, Tiap hari dalam duniaku. Sedang dalam dunia nyataku, ibu menawarkan aku sosok yang sama-sama belum pernah ku temui dalam maya sekalipun.
Ingin aku bilang tidak pada ibu, tapi apa aku percaya pada dia yang aku sendiri tak tahu siapa nama sebenarnya, dimana dia, bagaimana dia?
Ingin aku bilang iya pada ibu, tapi bagaimana dengan perasaan dan hati ini.
Salahkah aku menaruh hati?
“Nduk, bapak ibu semakin Udzur sudah tak punya waktu banyak untuk menatapmu tersenyum dan menampungmu dalam diam.” Lagi-lagi suara ibu terngiang seolah beliau berada diujung senja sana mengawasiku.
Hmmm.... Ku rapatkan jaket tipisku dari sentuhan halus angn yang mencoba mencandaiku, kembali setelah senja benar-benar pergi tinggalkan seorang aku disini. Jika senja saja mampu tersenyum lega dari waktunya yang sedikit, kenapa aku tidak?
Semua adalah pilihan. Aku akan menelpon ibu secepatnya.
Dan kamu, wahai calon suamiku, siapapun dirimu, dimanapun kau berada aku masih disini menunggumu, menanti tangan Tuhan menggerakkan hatimu untuk menjemputku dengan caraNya.
Maghrib memanggilku dengan senyum manisnya, semanis senyumku pada dia disana, ah... Siapakah namamu?
___________The End___________
1Sajake ( bahasa jawa ) = Sepertinya
2 Nduk (bahasa jawa ) = sebutan untuk anak perempuan
[ Ta, July 1608 ]
No comments:
Post a Comment